Langit
bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara. Jalanan tak terlalu
ramai. Jembatan yang di bangun sejak
zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai Batang Serangan terlihat tenang
menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan kami adalah Dusun III Desa Telaga Said
Kecamatan Sei Lepan.
Tak jauh
dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang, hanya butuh
waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat mencolok. Secara
etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini
pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama
dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam Syekh Abdul
Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari
Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.
Tapi tujuan
kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan mulai melewati
perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus. Jalan berlubang dan
rusak mulai kami lewati. Di kanan kiri,
terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu. Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul
di atas tanah jarak 2 hingga 3 meter
menarik perhatian kami.
“Itu sumur
minyak kak, kita masuk ke kampung
tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,” kata Gunarto, seorang
contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama kami. Mulut pipa
serupa kami temui di sepanjang perjalanan. Sebagian kecil berdekatan dengan
tanaman, sebagian lainnya terlihat di
halaman rumah penduduk. Ternyata kami memasuki pusat sejarah minyak di Indonesia,
Desa Telaga Said. Separuh hati merasa senang, separuh lainnya merasa sedih.
Bagaimana kehidupan warga di kawasan ini begitu memprihatinkan. Rumah-rumah
terbuat dari kayu dan sangat sederhana.
Padahal
sejarah mencatat, dimasa pemerintahan
Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah, seorang administrator Belanda
bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan
konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Konsesi pertama eksploitasi
minyak bumi diberikan oleh Sultan pada tahun 1883. Dua tahun kemudian,
dilakukan produksi pertama minyak bumi dari perut bumi. Pada tahun 1892 kilang
minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksplotasi mulai melakukan produksi
massal.
Berkat
ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya
akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar. Secara umum
bila di bandingkan dengan kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur saat
itu, Langkat jauh lebih makmur melebihi harapan. Bersama Kesultanan Siak,
Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah
satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Salah satu sisa kejayaan
Langkat yang dapat disaksikan sekarang adalah Masjid Azizi di Tanjung Pura.
Pada tahun
1907 Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah menandatangani kontrak politik
dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot selaku Residen van Sumatra
Oostkust. Dalam perjanjian ini batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan.
Daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Sultan terdiri dari Pulau
Kumpei, Pulau Sambilan, Tapa Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di
dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan
Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.
Tak terlihat
kejayaan yang tersisa di kampung ini, hanya sebuah tugu di pintu masuk Desa
Telaga Sari melalui Kecamatan Pangkalan Brandan
sebuah tugu berbentuk semi silinder dengan tinggi sekitar dua meter,
yang dibalut dengan marmer hitam. Pada bagian tengah tugu, di bawah logo
Pertamina, terdapat tulisan, “Telaga Tunggal 1885 -1985” Dan sebuah plang yang menjelaskan tentang
riwayat singkat sumur pertama tersebut.
“Di sini
telah dibor sumur penghasil pertama di Indonesia. Nama Sumur Telaga Tunggal.
Ditajak 15 Juni 1885. Kedalaman 121 meter. Hasil minyak 180 barrel perhari dari
lima lapisan batu pasir dengan formasi Baong. Lapangan ditinggalkan tahun
1934.”
Ironis ! Kata itu yang tercetus dalam bathin saya. Sisa-sisa kejayaan
masa lampau itu kini dijadikan penghasilan untuk biaya hidup masyarakat
setempat dengan membuat sumur-sumur minyak mentah yang acap kali digrebek
karena daerah itu
kini merupakan WKP (Wilayah Kuasa Pertambangan) PT Pertamina EP Field
Pangkalansusu yang dikelola oleh TAC Pertamina-Eksindo Telaga Said Darat
melalui ikatan kontrak TAC antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Eksindo
Telaga Said Darat pada tanggal 7 Agustus 2002 yang didukung melalui Memorandum
Deputi Direktur Hulu No.269/D10000/ 2003-S1 tanggal 26 Mei 2003, serta surat No.270/D10000/2003-S1
tanggal 26 Mei 2003 perihal, persetujuan Pre-Plan of Development dan
pengambil-alihan lapangan Telaga Said Darat Yang izinnya baru berakhir tahun
2022.
Tak heran, jika warga terlihat
sedikit alergi dengan pendatang, apalagi jika membahas “kebun sumur minyak
mereka yang unik”.
Adalah Hasan Rahmat, pemilik 30 sumur minyak manual di Desa Telaga Said
yang akhirnya bersedia membuka cerita Kebun Sumur Minyak miliknya. Pria berusia
35 tahun ini mengaku tidak tahu pasti bagaimana sumur manual itu bermula, tapi
dirinya belajar membuat sumur minyak tanah condensate (crude oil)
dari generasi sebelumnya.
Untuk satu sumur minyak dibutuhkan pipa Paralon ukuran 3 inchi 15
hingga 20 batang yang ditanam di tanah yang sebelumnya dibor untuk tempat pipa
paralon diletakkan. Di dalam lubang pipa Paralon 2 inchi yang sudah
dimodifikasi dan di dalamnya terdapat bandul yang berfungsi menarik dan
menyimpan minyak tanah. Paralon dengan
bandul diikat dengan tali, dan untuk memudahkan proses penarikan hasil minyak
mentah ke atas dibutuhkan tali berukuran 70 meter hingga 150 meter tergantung dalamnya Paralon yang
ditanam.
“Kalau kita biasanya kedalaman 15 sampai 20 batang paralon, sekitar 66
meter tapi ada juga yang 200 meter,”
kata Hasan.
Butuh modal 2 hingga 5 juta untuk membuat satu sumur minyak mentah.
Untuk mengangkut hasilnya keluar dari bumi, dibutuhkan mesin penarik dengan
katrol yang diletakkan di atas 3 batang bambu. Untuk 30 sumur minyak yang
dikelolanya, Hasan mengaku bisa menghasilkan 10 jerigen per 12 hari. Perjerigen
berisi 35 liter yang dijual dengan harga Rp 175 ribu rupiah.
“Memang nasib-nasiban kalau lokasinya, banyak tu pendatang yang sewa
tempat, pasangin alat penarik tapi nggak ada minyaknya,” ujar Hasan.
Dia mengaku ada pihak-pihak yang mengajak bekerjasama dengan system
pembagian keuntungan 60-40. “Diajak kerjasama resmi dgn Pertamina, sama mereka
60 persen, sama kami 40 persen, mau makan apa kami Cuma 40 persen, alat dan
pekerja dari kami, sementara tanahnya juga tanah kami?” kata Hasan.
Di dua kecamatan ini, sedikitnya ada 200-an warga yang memiliki sumur
minyak manual. Setiap hari ada sedikitnya 500.000 liter minyak mentah yang
keluar untuk dijual dengan pekerja-pekerja dengan menggunakan sepeda motor
berbak sederhana di bagian belakang.
“Kami makan ya dari minyak ini,” kata Rifai (34) warga Telaga Said.
Menurut Rifai, membuka ladang tumbuhan seperti kebun normal bukanlah pekerjaan
mudah di atas tanah dengan kandungan condensate.
“Bisa, tapi harus buka saluran air menuju Sungai karena saat tertentu
minyak tanahnya keluar dan kalau kena tanaman ya bisa mati,” kata Rifai.
Sayapun tercenung, begitu rumit ternyata hidup di lumbung padi.
Logikanya mereka harusnya kenyang dan tak kekurangan. Tapi ternyata, untuk bisa
menikmati padi di lumbungnya, mereka seperti tikus yang berkejaran dengan
penjaga lumbung.
Hari mulai
petang, matahari terlihat condong ke ufuk Barat. Sejumlah pekerja kebun minyak
mengemasi hasil panen hari ini dalam jerigen dan mengangkatnya ke bak yang
terbuat dari bamboo. Sebagian menutup wajah mereka dengan sebo, khawatir kami
memotret wajah mereka. Hmmm………kami memutuskan keluar kampung dan membagi cerita
ini disini. (Yose Piliang).
Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jalanan tak terlalu ramai. Jembatan
yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai
Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan
kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan.
Tak
jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang,
hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat
mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan.
Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul
Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam.
Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini
terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh
Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais
Mekkah.
Tapi
tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan
mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus.
Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati. Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu. Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.
“Itu sumur minyak kak, kita
masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,”
kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama
kami.
- See more at: http://www.sumutonline.com/asia/item/1193-berkebun-minyak-di-jejak-sejarah-telaga-said.html#sthash.xkWqeQub.dpuf
Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jalanan tak terlalu ramai. Jembatan
yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai
Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan
kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan.
Tak
jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang,
hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat
mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan.
Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul
Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam.
Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini
terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh
Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais
Mekkah.
Tapi
tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan
mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus.
Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati. Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu. Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.
“Itu sumur minyak kak, kita
masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,”
kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama
kami.
- See more at: http://www.sumutonline.com/asia/item/1193-berkebun-minyak-di-jejak-sejarah-telaga-said.html#sthash.xkWqeQub.dpuf
Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jalanan tak terlalu ramai. Jembatan
yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai
Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan
kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan.
Tak
jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang,
hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat
mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan.
Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul
Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam.
Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini
terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh
Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais
Mekkah.
Tapi
tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan
mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus.
Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati. Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu. Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.
“Itu sumur minyak kak, kita
masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,”
kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama
kami.
- See more at: http://www.sumutonline.com/asia/item/1193-berkebun-minyak-di-jejak-sejarah-telaga-said.html#sthash.xkWqeQub.dpuf
No comments:
Post a Comment