Sunday, 5 July 2015

Berkebun Minyak di Jejak Sejarah Telaga Said, "Catatan Jurnalis Senior"

Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.  Jalanan tak terlalu ramai.  Jembatan yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan. 



Tak jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang, hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.

Tapi tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus. Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati.  Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu.  Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di  atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.

“Itu sumur minyak kak,  kita masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,” kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama kami. Mulut pipa serupa kami temui di sepanjang perjalanan. Sebagian kecil berdekatan dengan tanaman,  sebagian lainnya terlihat di halaman rumah penduduk.  Ternyata kami  memasuki pusat sejarah minyak di Indonesia, Desa Telaga Said. Separuh hati merasa senang, separuh lainnya merasa sedih. Bagaimana kehidupan warga di kawasan ini begitu memprihatinkan. Rumah-rumah terbuat dari kayu dan sangat sederhana. 
 
Padahal sejarah mencatat,  dimasa pemerintahan Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Konsesi pertama eksploitasi minyak bumi diberikan oleh Sultan pada tahun 1883. Dua tahun kemudian, dilakukan produksi pertama minyak bumi dari perut bumi. Pada tahun 1892 kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksplotasi mulai melakukan produksi massal.

Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar. Secara umum bila di bandingkan dengan kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur saat itu, Langkat jauh lebih makmur melebihi harapan. Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Salah satu sisa kejayaan Langkat yang dapat disaksikan sekarang adalah Masjid Azizi di Tanjung Pura.

Pada tahun 1907 Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah menandatangani kontrak politik dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot selaku Residen van Sumatra Oostkust. Dalam perjanjian ini batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan. Daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Sultan terdiri dari Pulau Kumpei, Pulau Sambilan, Tapa Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.

Tak terlihat kejayaan yang tersisa di kampung ini, hanya sebuah tugu di pintu masuk Desa Telaga Sari melalui Kecamatan Pangkalan Brandan  sebuah tugu berbentuk semi silinder dengan tinggi sekitar dua meter, yang dibalut dengan marmer hitam. Pada bagian tengah tugu, di bawah logo Pertamina, terdapat tulisan, “Telaga Tunggal 1885 -1985”  Dan sebuah plang yang menjelaskan tentang riwayat singkat sumur pertama tersebut.

“Di sini telah dibor sumur penghasil pertama di Indonesia. Nama Sumur Telaga Tunggal. Ditajak 15 Juni 1885. Kedalaman 121 meter. Hasil minyak 180 barrel perhari dari lima lapisan batu pasir dengan formasi Baong. Lapangan ditinggalkan tahun 1934.”       

Ironis ! Kata itu yang tercetus dalam bathin saya. Sisa-sisa kejayaan masa lampau itu kini dijadikan penghasilan untuk biaya hidup masyarakat setempat dengan membuat sumur-sumur minyak mentah yang acap kali digrebek karena daerah itu kini merupakan WKP (Wilayah Kuasa Pertambangan) PT Pertamina EP Field Pangkalansusu yang dikelola oleh TAC Pertamina-Eksindo Telaga Said Darat melalui ikatan kontrak TAC antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Eksindo Telaga Said Darat pada tanggal 7 Agustus 2002 yang didukung melalui Memorandum Deputi Direktur Hulu No.269/D10000/ 2003-S1 tanggal 26 Mei 2003, serta surat No.270/D10000/2003-S1 tanggal 26 Mei 2003 perihal, persetujuan Pre-Plan of Development dan pengambil-alihan lapangan Telaga Said Darat Yang izinnya baru berakhir tahun 2022.
 Tak heran, jika warga terlihat sedikit alergi dengan pendatang, apalagi jika membahas “kebun sumur minyak mereka yang unik”.

Adalah Hasan Rahmat, pemilik 30 sumur minyak manual di Desa Telaga Said yang akhirnya bersedia membuka cerita Kebun Sumur Minyak miliknya. Pria berusia 35 tahun ini mengaku tidak tahu pasti bagaimana sumur manual itu bermula, tapi dirinya belajar membuat sumur minyak tanah condensate (crude oil) dari generasi sebelumnya.

Untuk satu sumur minyak dibutuhkan pipa Paralon ukuran 3 inchi 15 hingga 20 batang yang ditanam di tanah yang sebelumnya dibor untuk tempat pipa paralon diletakkan. Di dalam lubang pipa Paralon 2 inchi yang sudah dimodifikasi dan di dalamnya terdapat bandul yang berfungsi menarik dan menyimpan minyak tanah.  Paralon dengan bandul diikat dengan tali, dan untuk memudahkan proses penarikan hasil minyak mentah ke atas dibutuhkan tali berukuran 70 meter hingga 150  meter tergantung dalamnya Paralon yang ditanam.
“Kalau kita biasanya kedalaman 15 sampai 20 batang paralon, sekitar 66 meter tapi  ada juga yang 200 meter,” kata Hasan. 

Butuh modal 2 hingga 5 juta untuk membuat satu sumur minyak mentah. Untuk mengangkut hasilnya keluar dari bumi, dibutuhkan mesin penarik dengan katrol yang diletakkan di atas 3 batang bambu. Untuk 30 sumur minyak yang dikelolanya, Hasan mengaku bisa menghasilkan 10 jerigen per 12 hari. Perjerigen berisi 35 liter yang dijual dengan harga Rp 175 ribu rupiah. 

“Memang nasib-nasiban kalau lokasinya, banyak tu pendatang yang sewa tempat, pasangin alat penarik tapi nggak ada minyaknya,” ujar Hasan. 

Dia mengaku ada pihak-pihak yang mengajak bekerjasama dengan system pembagian keuntungan 60-40. “Diajak kerjasama resmi dgn Pertamina, sama mereka 60 persen, sama kami 40 persen, mau makan apa kami Cuma 40 persen, alat dan pekerja dari kami, sementara tanahnya juga tanah kami?” kata Hasan.
Di dua kecamatan ini, sedikitnya ada 200-an warga yang memiliki sumur minyak manual. Setiap hari ada sedikitnya 500.000 liter minyak mentah yang keluar untuk dijual dengan pekerja-pekerja dengan menggunakan sepeda motor berbak sederhana di bagian belakang.

“Kami makan ya dari minyak ini,” kata Rifai (34) warga Telaga Said. Menurut Rifai, membuka ladang tumbuhan seperti kebun normal bukanlah pekerjaan mudah di atas tanah dengan kandungan condensate.
“Bisa, tapi harus buka saluran air menuju Sungai karena saat tertentu minyak tanahnya keluar dan kalau kena tanaman ya bisa mati,” kata Rifai.

Sayapun tercenung, begitu rumit ternyata hidup di lumbung padi. Logikanya mereka harusnya kenyang dan tak kekurangan. Tapi ternyata, untuk bisa menikmati padi di lumbungnya, mereka seperti tikus yang berkejaran dengan penjaga lumbung. 

Hari mulai petang, matahari terlihat condong ke ufuk Barat. Sejumlah pekerja kebun minyak mengemasi hasil panen hari ini dalam jerigen dan mengangkatnya ke bak yang terbuat dari bamboo. Sebagian menutup wajah mereka dengan sebo, khawatir kami memotret wajah mereka. Hmmm………kami memutuskan keluar kampung dan membagi cerita ini disini. (Yose Piliang).
Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.  Jalanan tak terlalu ramai.  Jembatan yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan.
Tak jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang, hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.
Tapi tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus. Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati.  Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu.  Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di  atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.
“Itu sumur minyak kak,  kita masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,” kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama kami.
- See more at: http://www.sumutonline.com/asia/item/1193-berkebun-minyak-di-jejak-sejarah-telaga-said.html#sthash.xkWqeQub.dpuf
Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.  Jalanan tak terlalu ramai.  Jembatan yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan.
Tak jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang, hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.
Tapi tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus. Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati.  Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu.  Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di  atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.
“Itu sumur minyak kak,  kita masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,” kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama kami.
- See more at: http://www.sumutonline.com/asia/item/1193-berkebun-minyak-di-jejak-sejarah-telaga-said.html#sthash.xkWqeQub.dpuf
Langit bersinar garang, saat kami melewati kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.  Jalanan tak terlalu ramai.  Jembatan yang di bangun sejak zaman penjajahan Belanda di atas aliran Sungai Batang Serangan terlihat tenang menampung 2-3 mobil di atasnya. Tujuan kami adalah Dusun III Desa Telaga Said Kecamatan Sei Lepan.
Tak jauh dari Jembatan, kami berbelok ke kiri Kecamatan Padang Tualang, hanya butuh waktu 5 menit, plank tulisan Pesantrean Besilam terlihat mencolok. Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.
Tapi tujuan kami bukanlah Pesantren Besilam. Kami meneruskan perjalanan dan mulai melewati perkebunan sawit. Jalananpun terlihat mulai tak mulus. Jalan berlubang dan rusak mulai kami lewati.  Di kanan kiri, terlihat lahan kosong dengan tonggak pancang dari bambu.  Mulut pipa ukuran 50 inchi terlihat menyembul di  atas tanah jarak 2 hingga 3 meter menarik perhatian kami.
“Itu sumur minyak kak,  kita masuk ke kampung tempat-tempat sumur minyak mentah punya masyarakat,” kata Gunarto, seorang contributor TV Swasta Nasional yang ikut bersama kami.
- See more at: http://www.sumutonline.com/asia/item/1193-berkebun-minyak-di-jejak-sejarah-telaga-said.html#sthash.xkWqeQub.dpuf

No comments:

Post a Comment